Sepakbola Bertahan Yang Dibenci Semua Orang - OFFSIDE Indonesia

Breaking

Wednesday, August 21, 2019

Sepakbola Bertahan Yang Dibenci Semua Orang

Sepakbola Bertahan

Jika tim kamu ingin menang (harusnya memang seperti itu) maka tim tersebut harus mencetak gol. Sesederhana dan sejelas itu.

Bermain sepakbola bertahan, dengan asumsi agar tidak kebobolan, memperbesar kans sebuah tim untuk tidak kalah, setidaknya seri jika skor 0-0 bertahan. Clean sheet alias tidak kebobolan, sudah pasti menjamin sebuah kesebalasan tak akan meraih kekalahan. itu sudah pasti. tapi tidak kebobolan tidak bisa memastikan sebuah tim akan meraih kemenangan. Tim tersebut mutlak harus mencetak gol. Sekedar tidak kebobolan saja tidak cukup untuk menang.


Paragraf di atas tidak bermaksud untuk meremehkan pentingnya aksi bertahan, pertahanan atau clean sheet. Sama sekali tidak. Bukan itu maksudnya. Paragraf itu untuk menjelaskan, sekali lagi, bahwa untuk menang (dan akhirnya untuk juara) suatu kesebelasan harus mencetak gol. Tanpa mencetak gol, suatu kesebelasan paling banter hanya akan meraih seri dan lebih buruk lagi akan kalah.
Inilah yang menyebabkan, agaknya, para pemain menyerang (lebih tepatnya lagi: para pencetak gol) terkesan menjadi anak emas dalam sepakbola. Setidaknya itu tercermin dari jumlah para pemain menyerang (entah itu penyerang atau gelandang atau pemain sayap) yang meraih gelar pemain terbaik dunia jauh lebih banyak daripada para pemain bertahan (bek atau kiper atau gelandang bertahan).
Ini argumentasi yang sifatnya lebih mendasar, perihal filosofi sepakbola (bahkan olahraga) itu sendiri yang memang memburu kemenangan.

Gol sebagai Puncak Permainan
Gol dalam sepakbola adalah hal yang langka – dan karenanya paling dicari dan diburu. Dari gol itu juga kita mengenal sebuah kejadian lain yakni perayaan. Puncak kegembiraan atau kesenangan memang seharusnya untuk dirayakan.
Ada data menarik dalam buku The Numbers Game karangan Chris Anderson dan David Sally yang mampu menjelaskan kenapa gol di sepakbola adalah sebuah keindahan yang langka. Data yang dihimpun pada 2010-2011 membandingkan skor yang didapat pada beberapa pertandingan olahraga profesional. Hasilnya adalah sepakbola memiliki rataan skor terkecil dibandingkan olahraga lainnya. Dibandingkan American Football, rugby, basket hingga hoki es, data tersebut menunjukkan bahwa sepakbola menjadi olahraga dengan jumlah gol paling minim.
Masih dari sumber yang sama, gol dalam sepakbola juga membutuhkan usaha yang sangat besar. Lembaga statistik Opta mencatat ada 2842 aksi saat final Liga Champions 2010 antara Inter melawan Bayern. Aksi tersebut meliputi umpan, tekel, intersepsi, penyelamatan, dan sebagainya. Pertandingan sendiri dimenangkan oleh Inter lewat dua gol Diego Milito. Ya, hanya ada dua gol yang tercipta dari ribuan aksi tadi.
Berarti setidaknya butuh 1421 usaha yang dilakukan oleh para pemain agar dapat menyarangkan satu gol ke gawang lawan. Sebuah usaha yang besar dan pantas dihargai mahal.
Penyerang sebagai aktor protagonis sepakbola
Pada sebuah seni peran, protagonis identik dengan tokoh yang mendukung alur cerita. Tidak harus yang berbuat baik memang, tapi ia adalah seorang tokoh utama yang biasanya paling banyak menarik perhatian atau menyedot porsi dalam keseluruhan suatu kisah.
Jika tujuan utama bermain sepakbola adalah untuk mencetak gol, maka dapat disimpulkan penyerang adalah tokoh utama. Ia menjadi pemain yang paling menarik dan menjadi pusat perhatian di lapangan. Tak heran kemudian rekor demi rekor harga penjualan pemain mulai tak menyentuh pemain dari sektor pertahanan. Selain terkait kebutuhan sebuah tim, hal ini juga berlaku untuk sektor komersialisasi.
Pemain bertahan adalah tokoh antagonis dalam sepakbola, ia dengan segala upayanya berusaha mencegah agar penyerang tak bisa mencetak gol. Pendeknya, seorang pemain bertahan justru menjadi “penghalang” bagi tercapainya puncak permainan yaitu gol.
Dalam logika yang umum atau yang standar dipakai dalam penulisan skenario film, misalnya, antagonis bisa dirumuskan secara sederhana: sebagai sosok yang menjadi perintang/penghalang tokoh antagonis dalam merealisasikan gol/tujuannya. Lalu siapa yang lebih disukai penonton? Tokoh yang mendukung gol atau yang menggagalkannya?
Disadari atau tidak, pengelompokkan semacam ini juga akrab pada kehidupan manusia secara alamiah. Kita akan lebih menyukai orang-orang yang membantu tujuan kita tercapai, daripada yang menghalanginya.
Proses gol yang digagalkan oleh bek maupun kiper akan membuat penonton semakin penasaran. Tak peduli berapa kali peluang tersebut berhasil digagalkan. Jika gol kemudian terjadi, semua seolah lupa terhadap kejadian sebelumnya, perayaan kemudian dilakukan.
Sebagai permainan tim, kita sebenarnya juga tidak bisa serta merta memberi label atau kasta terendah pada barisan pertahanan. Bukankah masih ada syarat lain sebuah tim dianggap menang dalam sepakbola selain mencetak gol: tidak kebobolan lebih banyak dari lawannya.
Masalahnya, sekali lagi, sekadar “tidak kebobolan lebih banyak dari lawan” juga tidak memastikan sebuah kesebelasan akan meraih kemenangan. Secara logika, “tidak kebobolan lebih banyak dari lawan” juga hanya bisa memastikan sebuah kesebelasan akan meraih hasil seri. Misalnya: kesebelasan X hanya kebobolan dua gol, sementara kesebelasan Y juga hanya kebobolan dua gol. Jelas kesebelasan X sudah memenuhi kriteria “tidak kebobolan lebih banyak dari lawannya”, tapi jelas kesebelasan X tidak memenangkan laga, bukan?
Prinsip dasarnya masih sama seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya: kesebelasan yang menang harus mencetak gol lebih banyak dari lawannya. Mencetak gol, sekali lagi, jadi syarat mutlak kemenangan.
Efek Magnet Pesona Penyerang
Pada era kejayaan Barcelona di era Pep Guardiola, ada satu peran menarik yang mencuri perhatian: Busquets role. Posisi Sergio Busquets sampai diberi nama panggilan khusus karena perannya yang begitu vital di kesebelasan yang dibelanya, baik timnas Spanyol maupun Barcelona.
Area bermainnya hanya beberapa meter di depan bek, persis seperti seorang gelandang bertahan. Tetapi ia punya peran berbeda yakni sebagai holding midfielder. Ia adalah orang pertama yang menerima bola dari para bek di belakang untuk kemudian mendistribusikan ke depan, Xavi ataupun Iniesta. Busquets adalah poros dalam strategi tiki-taka yang dijalankan Barcelona.
Badannya yang terlihat ringkih juga sepertinya tak cocok sebagai pemain yang bertugas melindungi para bek ketika diserang. Tapi Busquets tetap saja mampu mencuri bola dari lawan dengan gaya khasnya, memakai teknik bukan fisik. Berbagai keistimewaan yang dimilikinya kemudian tak berarti karena bagaimanapun ia berkontribusi, ketika gol tercipta nama dan wajah Lionel Messi, Luis Suarez, atau Neymar tetap yang tampil di layar besar Camp Nou.
Kasus hampir serupa ada di rival Barcelona, Real Madrid. Pada tahun 2003 sang presiden Florentino Perez menjual Claude Makelele demi mendatangkan David Beckham. Alasannya adalah sang bintang Prancis tersebut tak berkontribusi banyak untuk El Real. Hanya mencetak satu gol dalam jangka waktu tiga tahun.
Atas keputusan tersebut, Zinedine Zidane lantas memberi komentar: "Kenapa harus menambah lapisan emas pada (mobil) Bentley ketika Anda kehilangan mesinnya?". Benar saja, Real Madrid kemudian mengalami fase buruk sepeninggalan Makelele dengan puasa gelar hingga tiga musim."
Semua pemain pada sebuah kesebelasan memang seolah tersedot pesonanya oleh para penyerang. Bahkan untuk gelar individu, ia mendapat kategori istimewa, pencetak gol terbanyak. Sang pemberi umpan (assist) tak semua otoritas liga memberinya sebuah penghargaan. Sedangkan pemain bertahan hanya dapat memperebutkan kategori pemain terbaik, dan yang perlu diingat mereka juga berebut dengan para penyerang untuk mendapatkannya.
Mengambil kiasan soal antagonis dan protagonis dalam film, jika Anda tak setuju pemain bertahan dikatakan antagonis, maka Anda bisa memasukannya sebagai pemeran pembantu. Dan pemeran pembantu, memang, sangatlah penting. Tak ada keraguan soal arti penting para pemeran pembantu dalam totalitas sebuah alur kisah.
Bermain Bertahan Sebenarnya juga Tak Mudah
Karena alasan-alasan di atas wajar sebenarnya banyak orang membenci permainan bertahan. Cara bermain dengan fokus pada pertahanan ini kemudian populer dengan nama taktik parkir bus.
Meski bertahan di sepakbola sebenarnya juga tidak mudah. Caranya bukan sekadar menumpuk pemain di kotak penalti, lalu menunggu peluit panjang berbunyi. Permainan bertahan yang sukses dan menghasilkan kemenangan bahkan trofi selalu dilakukan dengan cara yang kompleks.
Saya masih ingat hingga sekarang momen ketika cara pandang tentang sebuah pertahanan di sepakbola berubah. Pada saat itu di sebuah pertandingan Liga Champions Asia 2004 antara Persik Kediri melawan Binh Dinh. Persik yang melakoni pertandingan lanjutan grup G, menjamu wakil Vietnam tersebut dengan status unggulan.

Pada pertandingan pertama Persik mampu bermain imbang 2-2 dengan sang tuan rumah. Maka wajar kemudian jika Binh Dinh lebih memilih bermain aman dengan bertahan saat melakoni laga di Kediri. Sejak menit pertama mereka seperti anti menginjak daerah pertahanan Persik.

Semua pemain hanya menunggu saja di daerah sendiri. Bahkan ada beberapa momen para pemain Persik dan Binh Dinh hanya diam mematung ketika bola ada di kaki pertahanan tuan rumah. Para penyerang Binh Dinh sama sekali tidak berusaha menekan lawan dan lebih memilih membentuk pertahanan.

Sontak aksi tersebut mendapat sorakan dari penonton, tim lawan dianggap tak berniat bermain sepakbola karena mereka hanya menunggu dan terus menunggu. Namun saya justru berpandangan lain dengan para penonton. Menurut saya ini sesuatu yang jarang sepanjang pengalaman saya menonton sepakbola.

Cara bertahan pemain Binh Dinh masih sangat asing di dalam pandangan saya ketika itu. Asing dalam artian positif, mereka bertahan dengan cara yang sangat rapi, layaknya orang baris-berbaris. Beruntung saya menyaksikan langsung di stadion, karena mendapat keuntungan tersendiri, punya pandangan semua lapangan yang tak bisa dilihat di layar televisi.

Persik Kediri dan mayoritas penonton dibuat frustasi karenanya. Bahkan lewat serangan skema serangan balik, tim tamu mampu tampil lebih berbahaya. Persik sendiri akhirnya mampu menang 1-0 berkat gol tunggal Johan Prasetyo. Binh Dinh meski begitu mampu memberikan perlawanan yang tangguh, mereka juga bermain dengan 10 orang karena salah satu pemainnya diusir wasit pada babak kedua.

Sejak itu saya selalu memberi apresiasi khusus pada sebuah kesebelasan yang mampu membentuk pertahanan kokoh. Apalagi yang berhasil meraih prestasi seperti Atletico yang mampu mencapai final Liga Champions dan berada di perebutan juara La Liga musim ini.

Maka saat beberapa orang membenci permainan bertahan sebuah kesebelasan, saya selalu memaklumi. Namun soal pernyataan sepakbola bertahan itu tak indah, ini masih bisa diperdebatkan.

No comments:

Post a Comment