Pelatih dan Manager Sepakbola |
Pada suatu percakapan dengan pihak PSM Makassar, saya membukanya
dengan pertanyaan, “Robert René Alberts itu jabatannya manajer atau kepala
pelatih di PSM Makassar?”. Pertanyaan tersebut sebenarnya berlaku untuk semua
kesebelasan, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Bagi beberapa orang yang tidak mau repot, mereka
tidak akan mempermasalahkan perbedaan pengertian ini.
Istilah manajer sepakbola, seperti laiknya gim Football
Manager yang tersohor itu, sebenarnya lebih populer di Inggris sana.
Misalnya saja, Arsene Wenger adalah Manajer Arsenal dan Sir Alex
Ferguson adalah Manajer Manchester United.
Akan tetapi, Mauricio Pochettino pernah ngomel karena
disebut sebagai Manajer Tottenham Hotspur. “Jika kamu manajer, kamu memutuskan
banyak hal tentang kesebelasan. Tapi jika kamu seorang head coach (kadang
disebut kepala pelatih atau pelatih kepala di Indonesia), tanggung jawab kamu
adalah untuk bermain lebih baik, mencoba untuk meningkatkan pemain dan untuk
mendapatkan hasil yang positif.”
“Ketika di Southampton, aku adalah seorang manajer. Tanggung
jawabku tidak hanya untuk melatih kesebelasan. Dengan Tottenham, aku seorang
kepala pelatih. Seorang kepala pelatih adalah kepala departemenmu. Departemenku
adalah untuk melatih kesebelasan,” kata pria asal Argentina itu pada 2015.
Dari pernyataan Pochettino di atas, apakah kamu sudah bisa
membedakan apa itu manager dan head coach,
setidaknya di Inggris saja dahulu?
Perbedaan versi sepakbola Inggris
Jika kita meninjau dari definisi secara harafiah, British
English menyebut bahwa manajer memiliki otoritas pengawasan. Kemudian
pelatih memiliki makna sebagai guru, instruktur, dan penasihat.
Beda lagi, American English (pusing sekali
ya, English saja ada banyak versinya) menyebut pelatih sebagai
orang yang memiliki peran kreatif dan kepemimpinan. Sementara manajer
bertanggung jawab untuk hal-hal yang lebih bersifat dukungan administratif dan
material untuk tim.
Jika diaplikasikan kepada sepakbola, sederhananya, kepala
pelatih (head coach) adalah figur yang bertugas memberikan porsi
latihan, meracik strategi, dan memberikan instruksi di lapangan. Sedangkan
seorang manajer (manager) bertanggung jawab mengatur administrasi dan
persiapan kesebelasan di luar lapangan, seperti masalah perekrutan pemain.
Sebagai contoh, Sir Alex mungkin merupakan
contoh sosok manajer terbaik, karena ia juga memiliki tanggung jawab melatih.
Meskipun demikian, ia tidak memperhatikan sampai hal-hal yang terlalu kecil,
seperti misalnya memilih makanan yang cocok setelah latihan, mengatur tinggi
rumput yang harus dipotong di stadion, atau bahkan soal taktikpun ia sesekali
mendelegasikannya kepada asisten manajernya.
“Ketika kamu menjadi manajer, sangat penting untuk peduli
terhadap detail, tapi penting juga untukmu mengetahui jika tidak akan ada cukup
waktu dalam satu hari untuk mengecek semuanya,” kata Ferguson di bukunya yang
berjudul Leading.
Di saat seorang pelatih kepala dapat berkonsentrasi penuh kepada
kesebelasan, tapi kelemahannya adalah mereka biasanya memiliki kekuasaan yang
minim ketika berkaitan dengan hal di luar lapangan.
Contohnya, mantan head coach Sunderland, Paolo
Di Canio, dipecat setelah hanya bertugas di 13 pertandingan pada September
2013, dengan mengeluarkan komentar: “Tidak ada salah satu dari mereka (pemain)
yang direkrut oleh saya. Roberto De Fanti dan Valentino Angeloni adalah dua
orang yang bertanggung jawab untuk kesalahan teknis, dengan dukungan maksimal
dari ketua, Ellis Short. Tapi saya tidak membawa satu pemain pun. Saya meminta
mereka untuk membawa 80 persen pemain Inggris.”
Di Leeds United, kasus dipecatnya Brian McDermott pada 2014 oleh
pemilik Leeds saat itu, Massimo Cellino, juga terjadi akibat pemilik
asal Italia tersebut lebih menginginkan sosok “head coach” daripada “manajer”.
Perbedaan versi sepakbola Eropa
Di saat Inggris memiliki manajer yang juga adalah head
coach, sepakbola Eropa lainnya seperti Spanyol, Italia, atau Jerman
biasanya tidak memiliki istilah manajer, tapi mereka memang memiliki kepala
pelatih yang biasa didukung oleh posisi seperti direktur sepakbola (director
of football) atau direktur teknik.
Direktur sepakbola membuat peran manajer menjadi lebih kecil dan
biasanya berkaitan dengan penampilan kesebelasan di atas lapangan, sehingga
mereka pada akhirnya lebih cocok disebut sebagai pelatih kepala.
Direktur sepakbola sendiri memiliki tugas sebagai media
komunikasi pihak manajemen dan tim kepelatihan. Ia menjadi jembatan antara
keduanya, terutama soal pembelian dan penjualan pemain.
Hal ini, yang biasa terjadi di luar Inggris, sebenarnya berperan
untuk membuat persepsi yang umum di mana sosok kepala pelatih itu jauh lebih
paham mengenai taktik ketimbang manajer.
Persepsi umum ini juga yang menggiring paradigma jika manajer
Inggris selalu kesulitan untuk sukses di luar Inggris karena tuntutan taktik
yang lebih besar di Eropa daratan dan juga kecilnya peran mereka dalam hal
transfer pemain.
Perbedaan versi sepakbola Indonesia dan penyalahgunaannya yang umum
Di Indonesia, sempat ramai sebuah berita di awal tahun lalu
tentang manajer Persinga Ngawi, Dwi Rianto Jatmiko, yang mengkritik penampilan
manajer Persatu Tuban, Fahmi Fikroni, karena yang menjadi objek kritiknya
adalah jas yang dipakai Fikroni saat mendampingi kesebelasannya.
Jika pengertian manajer dan kepala pelatih hanya dipersempit
pada dandanan mereka, maka sepertinya hampir tidak ada sosok manajer di
Indonesia. Pada kenyataannya, fungsi kepala pelatih dan manajer ibarat dua sisi
koin jika kita melihat sepakbola Indonesia.
Biasanya ada dua sosok yang berbeda untuk masing-masing jabatan
ini. Hal yang kadang ngeselinnya adalah jabatan manajer yang
biasa diisi tokoh publik, baik itu politisi, pejabat daerah, maupun seorang
pemuka agama. Mereka biasanya ikut mendanai kegiatan operasional kesebelasan.
Padahal jika pengertian manajer versi Indonesia adalah seperti
di atas, sosok tersebut lebih pantas disebut sebagai pemilik atau investor
kesebelasan.
Hal ini yang sering membuat manajer memiliki pengaruh yang besar
dalam keputusan kesebelasan, terutama untuk ikut duduk di bangku pemain
pengganti layaknya staf pelatih atau pemain, contohnya adalah “manajer”
Umuh Muchtar di Persib Bandung.
Persoalannya, pemilik kesebelasan atau investor memang tidak
diperkenankan untuk duduk di bench pemain, melainkan di tribun
maupun di box VIP atau VVIP.
Kembali kepada bagian paling awal di tulisan ini, media
officer PSM Makassar, Andi Widya Syadzwina, menjelaskan kepada saya
perbedaan peran manajer Robert René Alberts dengan CEO Munafri Arifuddin.
“Jadi memang Robert [Alberts] yang mengatur tim secara
keseluruhan. Cuma ada hal-hal tertentu yang tetap domain Pak Munafri. Misalnya
Robert mau [rekrut] pemain A, Pak Munafri yang nego harganya,” kata perempuan
yang akrab disapa Wina tersebut.
“Karena beliau (Munafri) tahu teknis bukan bagian dia. Di tim,
Pak Appi (sapaan akrab Munafri) berperan [untuk memenuhi] apa yang dibutuhkan
tim di luar non-teknis sesuai request pelatih bisa terpenuhi,”
lanjutnya.
Namun, Wina tidak mengelak jika seorang CEO seperti Munafri juga
kadang suka ikut duduk di bench, terutama saat pertandingan
tandang. “Kalau away, beliau mendampingi tim di pertandingan.
Makanya didaftar sebagai manajer tim agar bisa duduk di bench.”
Meskipun begitu, dengan duduknya Munafri di bangku pemain
pengganti lantas tidak membuat ia memiliki kuasa yang besar perihal taktik dan
permainan di atas lapangan. “[Munafri] di benchbukan buat ngatur atau
intervensi Robert,” ujar Wina.
Peran yang tidak jelas antara manajer dan
kepala pelatih, khususnya di Indonesia, mengakibatkan tumpang tindih jabatan
antara seorang kepala pelatih dan manajer sehingga bisa menimbulkan persepsi
adanya kelas di antara keduanya. Padahal seharusnya kepala pelatih dan manajer
adalah suatu kesatuan.
Misalnya saja, kesuksesan seorang manajer tidak dipandang
sebagai pencapaian individu melainkan prestasi seluruh pihak yang terlibat
lengkap dengan staf dan jajaran kepelatihannya, termasuk kepala pelatih jika
manajer tersebut tidak merangkap kepala pelatih.
Sebaliknya, kesuksesan kepala pelatih juga hadir karena dukungan
dari manajer, yang juga didukung oleh CEO, pemilik kesebelasan, sampai
suporter.
Jadi, apakah definisi manajer dan kepala pelatih ini penting?
Khusus untuk Indonesia, sejujurnya perbedaan ini sangat penting dan harus
dijelaskan sejelas-jelasnya, karena jika terus “mengambang”, akan ada potensi
penyalahgunaan jabatan, meskipun sesederhana orang yang semestinya tidak ada
di bench, tapi ada di bench, dan bahkan berpengaruh
besar kepada taktik kesebelasan.
No comments:
Post a Comment